THEOLOGI IBNU TAIMIYAH
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Yang diampu oleh bapak Drs. Mufid Fadli M.Ag.
Disusun Oleh :
1.
M. Ikhwanuddin
2.
Tatik Rofi’atul Ilmiyah
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2013
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita
ketahui, abad ke-13 M merupakan periode malapetaka bagi sejarah Islam yang mana
itu ditandai dengan masih porak poranda pada waktu seperti perang salib yang
berkepanjangan, penyerbuan Mongol ke negara muslim yang memusnahkan kekayaan
intelektual dan membunuh cultural serta membunuh jutaan kaum muslimin. Negara
Baghdad yang terkenal dengan pusat kota intelektual dan cultural telah dirampok
oleh Hulaku Khan pada tahun 1258 M.
Pada kurun waktu dan
huru-hara serta bencana seperti itu, maka lahirlah seorang pemikir yang sangat
berpengaruh besar terhadap dunia pemikiran Islam, yaitu Ibnu Taimiyah. Beliau
merupakan seorang pemikir bebas dan penganut kemerdekaan hati nurani. Beliau
juga seorang yang dipertanyakan oleh sebagian ummat, tetapi dimuliakan oleh
semuanya. Karya serta teladan hidupnya menjadi sumber ilham bagi setiap orang.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana riwayat hidup Ibnu Taimiyah.
2. Beberapa karangan kitab dan paham kontroversial Ibnu Taimiyah.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat singkat Ibnu Taimiyah.
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin
Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah
bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama
Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin
Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari
haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian
diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah
sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[1]
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran
pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara
pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. kewafatannya telah
menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum
muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim Bin
Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan Hakim di
kotanya.[2]
Dikatakan oleh Ibrahim Madkur
bahwa Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan
ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud
serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal
sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits),
faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat. Ia telah
mengkritik Khalifah Umar dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang
Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Kritiknya ditunjukan pula kepada kelompok-kelompok
agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama sezamannya. Berulang kali
Ibnu Taimiyah masuk ke penjara hanya karena bersengketa dengan para ulama
sezamannya.[3]
Ibnu Taimiyah terkenal sangat
cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk
memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama
merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap
kedudukannya di istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran
Ibnu Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh
lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme
sehingga pada awal 1306 M Ibnu Taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjarakan.
Masa hidup Ibnu Taimiyah bersamaan
dengan kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi
sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah
Baghdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya
mempersatukan umat islam, mengalami banyak tantangan, bahkan ia harus wafat di
dalam penjara.[4]
B.
Diantara karangan-karangan kitab beliau, antara lain :
a.
Muwafaqah Sharih al-Ma’qul li Shahih al-Manqul.
b.
Al-jawab al-Shahih Liman Baddala Dina al- Masih.
c.
Al-Rasail Wa al-Masail.
d.
Al-Iman.
e.
Al-Istiqamah.
f.
Kitab al-Tauhid.
g.
Naqd al-Mantiq.[5]
Berikut
ini akan kita lihat beberapa faham kontroversial Ibnu Taimiyah yang beliau tuliskan
sendiri dalam karya-karyanya, di mana faham-fahamnya ini mendapatkan reaksi keras
dari para ulama yang hidup semasa Ibnu Taimiyah sendiri atau dari mereka yang
hidup sesudahnya.
1.
Pernyataan
Ibnu Taimiyah bahwa alam ini tidak memiliki permulaan, ia ada azali bersama
Allah.
Dalam
keyakinan Ibnu Taimiyah bahwa jenis-jenis dari alam ini tidak memiliki
permulaan, ia azali atau qadim sebagaimana Allah Azali dan Qadim. Menurutnya,
yang baharu dan memiliki permulaan dari alam ini adalah materi-materinya saja, sementara
jenis-jenisnya adalah sesuatu yang azali. Ibnu Taimiyah menuliskan faham
ekstrimnya ini dalam bayak karyanya. Di antaranya dalam Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih
al-Manqul, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Kitab Syarh Hadits an-Nuzul, Majmu’ al-Fatawa,
Kitab Syarh Hadits ‘Imrah ibn al-Hushain, dan Kitab Naqd Maratib al-Ijma’.
2.
Pernyataan Ibn
Taimiyah bahwa Allah adalah Jism (benda).
Pernyataan Ibnu Taimiyah
bahwa Allah adalah benda beliau sebutkan dalam banyak tempat dari berbagai
karyanya, dan bahkan membela kesesatan kaum Mujassimah yaitu kaum yang
berkeyakinan bahwa Allah sebagai jism. Pernyataannya ini di antaranya
disebutkan dalam Syarh Hadits
an-Nunzul, Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul,
Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah,
Majmu’ Fatawa, dan Bayan Talbis al-Jahmiyyah. Di antara
ungkapannya yang beliau tuliskan dalam Bayan
Talbis al-Jahmiyyah adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya
tidak ada penyebutan baik di dalam al-Qur’an, hadits-hadits nabi, maupun
pendapat para ulama Salaf dan para Imam mereka yang menafikan tubuh (jism) dari
Allah. Juga tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan
sifat-sifat benda.
3.
Pernyataan Ibnu
Taimiyah bahwa Allah berada pada tempat dan arah, dan bahwa Allah memiliki
bentuk dan ukuran.
Keyakinan Ibnu Taimiyah
bahwa Allah berada pada tempat dan bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran
dengan sangat jelas beliau sebutkan dalam karya-karyanya. Di antaranya dalam
karyanya berjudul as-Sab’iniyyah dan Muwafaqat
Sharih al-Ma’qul, di dalamnya Ibnu Taimiyah menuliskan
sebagai berikut: Semua manusia, baik dari orang-orang kafir maupun orang-orang
mukmin telah sepakat bahwa Allah bertempat di langit, dan bahwa Dia diliputi
dan dibatasi oleh langit tersebut, kecuali pendapat al-Marisi dan para
pengikutnya yang sesat. Bahkan anak-anak kecil yang belum mencapai umur baligh
apabila mereka bersedih karena tertimpa sesuatu maka mereka akan mengangkat
tangan ke arah atas berdoa kepada Tuhan mereka yang berada di langit, tidak
kepada apapun selain langit tersebut. Setiap orang lebih tahu tentang Allah dan
tempat-Nya di banding orang-orang Jahmiyyah.
4.
Pernyataan Ibn
Taimiyah bahwa Allah duduk.
Pernyataan Ibnu
Taimiyah bahwa Allah bersifat dengan duduk sangat jelas beliau sebutkan dalam
beberapa tempat dari karya-karyanya, sekalipun hal ini diingkari oleh sebagian
para pengikutnya ketika mereka tahu bahwa hal tersebut adalah keyakinan yang
sangat buruk. Di antaranya dalam kitab berjudul Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Syarh Hadits an-Nuzul, Dan
Majmu’ Fatawa. Ibnu Taimiyah
berkata: Para ulama yang diridlai oleh Allah dan para wali-Nya telah menyatakan
bahwa Rasulullah Muhammad didudukan oleh
Allah di atas ‘arsy bersama-Nya.
5.
Pernyataan Ibn
Taimiyah bahwa Neraka dan siksaansiksaan terhadap orang kafir di dalamnya
memiliki penghabisan.
Termasuk kontroversi
besar yang menggegerkan dari Ibnu Taimiyah adalah pernyataannya bahwa neraka
akan punah, dan bahwa siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya memiliki
penghabisan. Kontroversi ini bahkan diikuti oleh murid terdekatnya yaitu Ibn
al-Qayyim al-Jauziyyah. Dalam karyanya berjudul ar-Radd ’Ala Man
Qala Bi Fana’ an-Nar, Ibnu Taimiyah menuliskan sebagai
berikut: Di dalam kitab al-Musnad karya
ath-Thabarani disebutkan bahwa di bekas tempat neraka nanti akan tumbuh
tumbuhan Jirjir. Dengan demikian maka pendapat bahwa neraka akan punah, dikuatkan
dengan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, dan perkataan para sahabat. Sementara mereka
yang mengatakan bahwa neraka kekal tanpa penghabisan tidak memiliki dalil baik
dari al-Qur’an maupun Sunnah.[6]
KESIMPULAN
Dalam
memahami ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Tauhid maka beliau mengartikannya
secara harfiyah tanpa menta’wilnya.
Ibnu
Taimiyah memiliki prinsip dasar yaitu :
· Wahyu merupakan sumber pengetahuan
agama dan penalaran hanyalah sumber terbatas.
· Hanya al-Qur’an dan Hadits sebagai
penuntun yang otentik dalam segala persoalan.
Ibnu Taimiyah adalah seorang
tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi (pengarang kitab
Daf’u Syubah at Tasybih Bi Akaff at Tanzih) sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme)
yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi
berpendapat bahwa pengakuan Ibnu Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Abbad
Sirajudin, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Pustaka Tarbiyyah, Jakarta.
Abul Hasan Ali
An-Nadawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1995
Madkour,
Ibrohim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995
Abdul Rozak dan Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Nasir Sahilun. Pemikiran
Kalam (Teology Islam ), Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
www.pustakaaswaja.web.id
[1]
Sirajudin
Abbad, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Pustaka Tarbiyyah, Jakarta, 1987.
Hal. 261
[2]
Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, CV. Pustaka
Mantiq, Solo, 1995, Hal. 41
[3]
Ibrahim Madkour, Aliran dan teori Filsafat Islam, Bumi Aksara, Jakarta,
1995, Hal. 36
[4]
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2000,
Hal. 115
[5]
Sahilun
A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teology Islam), Rajawali Pers. Jakarta,
2010. Hal. 281
[6]
www.pustakaaswaja.web.id